Dokter atau dukun



Dear pembaca,
Percakapan ini mungkin agak OOT (out of topic)  dari biasanya. Saya tidak ingin membahas mengenai dokter versus dukun.

Saya hanya ingin memberi pandangan lain pada para sineas. Jadi, mohon maaf sebelumnya...
Bukan mau mengambil peran produser, sutradara apalagi artisnya, soalnya ga mungkin bingits.....
Tidak ada kualitas apapun dalam diri saya untuk menjadi yang saya sebut diatas. Saya bakatnya jadi penonton. Ehm... iya penonton yang sukanya komentar aja!

Tapi tunggu dulu....
Saya ga sekedar komen loh kayak yang biasanya di muka buku itu. Saya cuma ingin menyampaikan pengalaman saya sebagai Ners.
Iyaaa..... Ners itu sapaan yang sedang kami sosialisakan untuk perawat.
Kami sekarang bukan dipanggil suster lagi.
Ga mau ah, habis situ juga sih... suka bikin film hantu suster-susteran. Kan kita jadi gimana gitu rasanya...

Oh iya Ners ini juga titel profesi kami macam dr yang artinya dokter. Tapi secara general Ners sebagai sapaan mengacu pada profesi perawat tanpa melihat jenjang pendidikan. Pokok ya asal ketemu perawat aja bisa dipanggil Ners deh!

Manggil perawat ga salah juga sih tapi kepanjangan. Manggil per...per... kan ga asik  lagian kita ga bisa 'ngeper'.
Manggil wat... wat, aduh kita bukan tukang jual kawaaaat!
Kalau pas perawatnya namanya Wati cocok tuh kalau saya yang dipanggil ya ga noleh...

Coba kalau nanti pada mau ke Rumah Sakit tengok tetangga, teman, atau sekedar periksa berat badan, panggil perawatnya dengan sebutan Ners. Trus konsentrasi pada bagian hidung, pasti ada sesuatu yang merekah disana . Hihihi...
Peace ya teman-teman perawat...

Kembali ke dokter dan dukun.
Kemarin saya nonton sinetron atau apa ya itu namanya yang langsung selesai. Tapi bukan FTV, nah apa ya... 
Ya itu deh intinya.

Tayang pagi hari pas mau nyetelin syamil dan dodo, kita tertarik adegan anak kecil lari-lari. Hal ihwal seterusnya saya kurang paham tau-tau dia di rumah sakit pakai selang oksigen. Sepertinya setingnya di UGD dan tak lama meninggal dunia padahal baru saja dinyatakan oleh bapak dokternya pasien sudah baik-baik saja. Mendadak kekuarga teriak histeris, dokternya cuma nut...nut... pakai stetoskop lalu keluar berita kematian. Tanpa ada pemeriksaan pupil dan lain-lainnya.

Duh... ringan sekali rasanya kerja di rumah sakit kalau seperti itu. Pikir saya getir. Secara saya pernah melakukan CPR, dimana bagian bantu nafasnya menggunakan alat bernama ambubag. 

Tahukah rasanya setelah melakukan kompresi teratur berkala selama lebih dari 30 menit?
Rasanya bahu, lengan dan sekitar tangan seperti habis mikul air bergentong-gentong. Kaku semuaaa....

Oh iya CPR itu cardiopulmonary resusitation biasanya diterjemahkan RJP atau resusitasi jantung paru. Memang ya tidak semua orang bisa melakukannya, kami saja harus mengikuti pelatihan khusus. Terakhir kali saya mengikuti training tersebut dari AHA (American Heart Association) selama 3 hari kalau tidak salah. Ditambah lagi sewaktu kuliah juga sudah mendapatkan pelajaran dan praktiknya.

Benang merahnya adalah pada kriteria life saving-nya. Iya sih buka film layar lebar, iya sih cuma sinetron kejar tayang. Tapi kalau saya denger-denger dari wawancara artis-artis di TV sering bilang "DEMI TOTALITAS!"

Nah ini nih yang sekiranya penting mengenai totalitas. Peran tenaga kesehatan perlu untuk dipelajari dengan baik seluk beluk rutinitasnya. Ya... wawancara sedikit dengan seorang dokter atau perawat bisa saja kan?

Fokusnya kan bukan soal kerja dokter dan perawat? Ngapain eksplor mereka?
Iya...
Tapi kesalahan dalam potongan adegan dokter atau perawat itu malah membuat nilai minus besar dari filmnya.
Seperti adegan melakukan RJP pasien  tenggelam yang di tekan-tekan perutnya. Maunya genre Film trailer malah jadi komedi!
Bukan cuma mereka yang memiliki latar belakang kesehatan, sekarang banyak orang yang sadar akan pentingnya penguasaan bantuan dasar kehidupan. Pendaki gunung, pramuka, PMR dan masih banyak lagi. Jadi akan semakin banyak orang sadar mengenai kesalahan tersebut. 

Hal berlaku sama dengan peran untuk perawat. Saya juga ingin menggaris bawahi kalau perawat bukan tukang daftar-daftarin pasien atau nagih-nagih duit. Biasanya itu petugas resepsionis dan  administrasi. Saya sih dulu kalau ada telfon dari administrasi ke ruang rawat inap, saudara atau keluarga pasien, saya minta untuk datang langsung kesana. Jadi saya ga pernah 'malak-malakin' (maaf saking gemesnya) pasien di ruang rawat inap gitu. Pakai kode etik keuleusss kerjanya.

Tetapi kalaupun ada perawat yang demikian, nah lho hayooo... Bagaimana itu manajemennya?

Back to the dokter yang mitra kerja perawat. Jadi setidaknya saya juga tau bagaimana respon yang akan kami kerjakan. Sekiranya pasien dalam keadaan baik akan ada tanda-tanda untuk turun dalam keadaan anfal. Bukan langsung klipuk nengklengin kepala wasalam.

Lalu jika ada kondisi darurat, setelah melakukan pengecekkan denyut jantung. Tim kami akan melakukan aksi HEROIK!
Eng... maksudnya kayak di filem-filem holiwood dan boliwood itu loh... buat saya itu heroik banget!
*lebay wis ben*
Pembagian tugas tersebut diantaranya :
Ada yang bertugas membawa keluarga keluar ruangan.
Ada yang cekatan mengambil peralatan, ambubag, mempersiapkan tabung atau kanal oksigen untuk dipakai, AED jika tersedia.
Ada yang menurunkam posisi tempat tidur sembari siap melakukan kompresi dada.

Kalau cuma nut...nut...nut... bilang she was die...
Oh... hello...
Itu tadi barusan dokter apa dukun?
Duh... menggemaskan sekaligus mengharukan. Di dunia serba milenia ini masyarakat butuh dicerdaskan meski cuma dari tontonan.

Menurut saya, daripada scene lirik-lirikkan dengan musik mendebarkan -deng.... deng... deng... deng....- diperbanyak, mending dipotong sekian menit untuk flash-flash adegan penyelamatan tadi.
Feel-nya penonton tu teraduk-aduk gitu loh kalau ada life saving dulu sebelumnya.

Meski adegan-adegan kesalahan tersebut memang banyak dimkalumi, tapi masa mau salah terus...
Sekian komentar dari penonton yang kecewa.

Semoga kedepannya kemajuan dunia sinema indonesia makin berkualitas dan mendidik masyarakat sebagai penontonnya. Belajar bukan di sekolah saja kan? Selalu ada moral of the story yang bisa dipetik dari cerita apapun.

***
Sumber gambar : AHA

14 komentar:

  1. Semangat! terus ya bunda semoga dunia sinema Indonesia juga semakin maju kedepannya

    BalasHapus
  2. Hehe aku bukan orang medis aja suka geregetan klo liat adegan kayak gitu, dokter/perawat dan tenaga media hanya jadi pelengkap cerita. Yg penting udah keliatan ada petugas medisnya, masalah cara penanganan benar atau salah nomor sekian, yg penting dramanya *LOL*

    Semoga kedepannya para sineas lebih memperhatikan ini ya

    BalasHapus
  3. Lha kebanyakan malah panggil "sus-sus" hehehe. Di dunia sinema kebanyakan begitu bunda. Prof dokter atau ners cuma sebagai "pemanis" aja.

    BalasHapus
  4. Mbak baru tau ada panggilan ners itu. Itu berarti apa termasuk untuk bidan perawat yang ada di rumah sakit bersalin ya? Lebih keren sih ya panggilan ners ketimbang suster

    BalasHapus
  5. iya Mbak, ads yang ngaco abis
    selang infus ditaruh di hidung (harusnya masker oksigen kan)

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh ada tuh yang buat oksigen selain masker cuma selang aja, ada kanulanya buat masukkin oksigen ke hidung

      Hapus
  6. Aku biasanya manggil sus.. sus... *SusterMakaudnya*. Gak tau ada istilah Ners.
    Ketauan boongnya klo aku bilang mah sinetron2 yang ada.
    Untuk kinerja dokter dan perawat, aku suka banget nontong drama korea yang "Doctors". Udh nonton blm mba?

    BalasHapus
  7. Hihi, kadang bingung juga Mbak, yg nulis skenario :) diambil dari pengalaman atau lihat tayangan lain sejenis. Ya jadinya gitu2 Mbak :)
    Judulnya menarik sekali :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Misal research pendek sama kenalan gitu kan bisa ya mbak...
      Kalau nulis buku kan juga begitu, kirain prosesnya sama dgn menulis naskah...

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung dan meninggalkan kenangan di kolom komentar blog. Insyaallah segera dibalas :)

Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup, it's not that hard to do dear...

Diberdayakan oleh Blogger.